SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG DI SD NEGERI 81/X PEMATANG RAHIM

Jumat, 30 September 2011

China Sukses Luncurkan Istana Surgawi

SPACE.COM
BEIJING, KOMPAS.com — China kembali menunjukkan keunggulan dalam bidang teknologi setelah sukses meluncurkan modul eksperimen laboratorium luar angkasa Tiangong-1 (Istana Surgawi-1), Kamis (29/9/2011) malam. Roket Long March 2FT1, yang membawa modul tersebut, meluncur dengan mulus dari pusat peluncuran Jiuquan di kawasan Gurun Gobi, Provinsi Gansu, China barat laut, tepat pukul 21.16 waktu setempat atau 20.16 WIB.
Perdana Menteri China Wen Jiabao menyaksikan langsung proses peluncuran itu, saat roket dan muatannya melesat ke luar angkasa menembus langit malam yang cerah. Modul seberat 8,5 ton itu akan ditempatkan di orbit setinggi 350 kilometer di atas permukaan Bumi.
Setelah Tiangong-1 berada di orbitnya, China akan meluncurkan pesawat luar angkasa Shenzhou 8 dalam beberapa pekan mendatang. Shenzhou kemudian akan digunakan untuk latihan melakukan proses bergandeng (docking) dengan Tiangong melalui proses yang dikendalikan secara jarak jauh dari stasiun pengendali di Bumi.
"Ini adalah uji coba yang signifikan. Kami belum pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya," tutur Lu Jinrong, teknisi kepala di pusat peluncuran Jiuquan, seperti dikutip kantor berita Xinhua.
Kantor berita Associated Press menyebutkan, prosedur docking yang dikendalikan secara jarak jauh ini bahkan belum pernah dicoba oleh para astronot AS. Selama ini, para astronot NASA selalu melakukan proses docking dengan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) secara langsung dengan pengendalian dari pesawat luar angkasa mereka.
Dua misi lagi direncanakan tahun depan, salah satunya dengan melibatkan astronot, yang kemudian akan mencoba tinggal di Tiangong-1 selama satu bulan. Semua misi luar angkasa ini adalah bagian dari ambisi China untuk mengorbitkan dan mengoperasikan stasiun luar angkasa buatan sendiri mulai tahun 2020.
China sudah berulang kali menyatakan minat untuk bergabung dengan 16 negara yang berkolaborasi mengoperasikan ISS. Namun, keinginan China itu selalu ditolak oleh AS, dengan alasan kedekatan program luar angkasa China dengan pengembangan militer China yang tertutup.
Akhirnya, China memutuskan mengembangkan teknologinya sendiri untuk membuat stasiun luar angkasa. China pertama kali menerbangkan astronot ke orbit pada 2003, dan menjadi negara ketiga di dunia setelah Rusia dan AS yang mampu melakukan hal itu. Tahun lalu negara itu meluncurkan wahana pengorbit Bulan pertama.
Sumber :
AP, REUTERS
Share by : albi

Asal Usul Orang Kubu (Provinsi Jambi)

Pendahuluan
Jambi adalah sebuah propinsi yang ada di Indonesia. Di sana ada sebuah masyarakat yang dikategorikan sebagai terasing, yaitu masyarakat Kubu. Mereka tersebar secara mengelompok di daerah pedalaman (hutan) pada beberapa kabupaten yang tergabung dalam wilayah Provinsi Jambi, yakni: Bungo Tebo, Sarolangun Bangko dan Batanghari. Ini artinya hanya Kotamadya Jambi, Kerinci, dan Tanjungjabung yang “bebas” dari orang Kubu. Mungkin inilah yang kemudian membuat seseorang jika mendengar kata “Kubu” maka yang ada di kepalanya adalah Jambi, walaupun orang Kubu ada juga di daerah Sumatera Selatan; tepatnya di Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas (Melalatoa, 1995).

Pada tahun 2000, tepatnya tanggal 23 Agustus 2000, sebagian wilayahnya diresmikan sebagai Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan, dan dideklamasikan oleh Presiden RI pada tahun 2001 di Jambi. Taman yang merupakan kawasan hutan konservasi ini secara keseluruhan luasnya 60.500 hektar, dengan rincian: 6.758 hektar ada di wilayah kabupaten Sarolangon, 40.669 hektar ada di Kabupaten Batanghari, 12.483 hektar ada di Kabupaten Tebo (ada selisih 590 hektar dengan yang disebutkan dalam SK Menteri Kehutanan). Ini artinya, TNBD yang secara astronomis terletak di antara 1º45’--1º58’ Lintang Selatan dan 102º32’--102º59’ Bujur Selatan ini, secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten yang bersangkutan.

Alamnya berupa dataran rendah, bergelombang (dengan kemiringan 2--40º Celcius) dan perbukitan dengan ketinggian 50--438 meter dari permukaan air laut. Bukit tertinggi adalah Bukit Kuran yang tingginya kurang lebih 438 meter dari permukaan air laut. Perbukitan itu sebagian besar diselimuti oleh hutan sekunder, bekas areal konsesi HPH. Hutan alam yang masih tersisa, selain terdpat di areal cagar biosfer Bukit Dua Belas, juga di bagian utara cagar tersebut yang sebagian besr berstatus sebagai Hutan produksi Terbatas (HPT), dan sebelah timur cagar yang luasnya terbatas. Hutan ini merupakan hutan tropis dataran rendah yang menjadi habitat satwa liar, seperti tapir (tapirus indicus), dan harimau sumatera (panthera tigris sumatera). Jenis tanahnya didominasi oleh podsolik yang tidak terlalu subur dan mudah tererosi.

Wilayah yang disebut sebagai Bukit Dua Belas ini berada di bagian tengah Propinsi Jambi. Ia berada di antara jalur-jalur perhubungan darat, yakni di antara lintas tengah dan timur Sumatera, serta lintas tengah Jambi. Ia juga diapit oleh empat sungai yang cukup besar, yakni Sungai: Batang-hari yang berada di bagian utara, Tabur yang berada di bagian barat, Tembesi yang berada di bagian timur, dan Merangin yang berada di bagian selatan.

Asal Usul
Berdasarkan Kelisanan
Ada berbagai versi tentang asal-usul orang Kubu. Versi pertama mengatakan bahwa mereka berasal dari Sumatera Barat. Konon, mereka adalah orang-orang yang tidak mau dijajah oleh Belanda. Untuk itu, mereka masuk ke hutan dan mengembara sampai akhirnya ada di daerah Jambi.

Versi kedua mengatakan bahwa mereka adalah tentara yang tersesat. Konon, pada zaman Kerajaan Jambi diperintah oleh Putri Selaras Pinang Masak, kerajaan diserang oleh Orang Kayo Hitam yang menguasai Ujung Jabung (Selat Berhala). Serangan itu membuat Jambi kewalahan. Untuk itu, Ratu Jambi yang notabene adalah keturunan Kerajaan Minangkabau mohon bantuan kepada Raja Pagaruyung. Dan, Sang Raja memperkenankan permohonannya dengan mengirimkan pasukan ke Jambi melalui jalan darat (menyusuri hutan belantara). Suatu saat ketika sampai di Bukit Duabelas mereka kehabisan bekal, padahal sudah jauh dari Pagaruyung dan masih jauh dari Jambi. Kemudian, mereka bermusyawarah dan hasilnya kesepakatan untuk tetap tinggal di tempat tersebut, dengan pertimbangan jika kembali ke Pagaruyung disamping malu juga bukan hal yang mustahil akan dihukum oleh rajanya. Sementara itu, jika meneruskan perjalanan ke Jambi disamping masih jauh juga bekal tidak ada lagi. Kemudian, mereka bersumpah untuk tetap tinggal di tempat itu dengan ketentuan siapa saja melanggarnya akan terkutuk dan hidupnya sengsara. Sumpah itu adalah sebagai berikut:

“Ke mudik dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir kena kutuk Rajo Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, kebawah tidak berurat, ditimpo kayu punggur” (Kembali ke Minangkabau dikutuk Raja Minangkabau, ke hilir dikutuk Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan, kumbang, ke bawah tidak berakar, ditimpa kayu lapuk).

Para tentara Pagaruyung yang membawa isteri dan tersest di Bukit Duabelas itulah yang kemudian menurunkan orang Kubu. Terpilihnya bukit ini sangat beralasan karena di sana banyak batu-batu besar yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai benteng. Selain itu, di sana asa sumber air dan sungai-sungai kecil yang menyediakan berbagai jenis ikan yang sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup mereka.

Versi ketiga mengatakan bahwa orang Kubu adalah keturunan Bujang Perantau dan Puteri Buah Gelumpang. Konon, pada zaman dahulu ada seorang perantau laki-laki yang bernama Bujang Perantau. Ketika perantau itu sampai di Bukit Duabelas, suatu malam ia bermimpi. Di dalam mimpinya ia disuruh agar mengambil buah gelumpang, kemudian buah itu dibungkus dengan kain putih. Jika itu dilakukan maka akan timbul keajaiban. Begitu bangun, ia langsung melakukannya. Buah gelumpang yang dibungkus dengan kain putih itu menjelma menjadi seorang puteri yang sangat cantik (Puteri Buah Gelumpang). Setelah besar, Sang Puteri mengajak kawin. Akan tetapi, Bujang Perantau menjawab bahwa tidak ada orang yang mau mengawinkan. Mendengar jawaban itu Sang Puteri menyarankan agar Bujang Perantau menebang pohon bayur kemudian dikupas agar licin dan dilintangkan di sungai. Bujang Perantau disuruhnya meniti dari salah satu ujung batangnya. Sementara, Puteri Buah Gelum-pang meniti dari ujung yang satunya lagi. Jika di tengah titian tersebut mereka bertemu dan beradu kening, maka itu berarti syah menjadi suami-isteri. Dan, ternyata mereka dapat melakukannya dengan baik. Oleh karena itu, mereka syah menjadi suami-isteri. Perkawinan mereka membuahkan 4 orang anak, yaitu Bujang Malangi, Bujang Dewo, Puteri Gading, dan Puteri Selaro Pinang Masak. Anak pertama disebut pangkal waris dan anak terakhir disebut ujung waris.

Alkisah, Bujang Malapangi dan Puteri Selaro Pinang Masak keluar hutan dan mendirikan kampung. Dan, ini berarti mengikuti jejak ayahnya sebagai orang terang. Sementara itu, Bujang Dewo dan Puteri Gading tetap berada di hutan mengikuti jejak ibunya sebagai Orang Rimbo. Perpisahan kedua kelompok saudara ini menimbulkan perselisihan, tetapi masing-masing tetap mengakui sebagai kerabat. Untuk itu, perlu dibedakan antara yang berkampung dengan yang tetap di hutan dengan persumpahan. Sumpah Bujang Malapangi yang ditujukan kepada Bujang Dewo adalah sebagai berikut:

“Yang tidak menyam-but arah perintah diri waris dusun, bilo waris menemui di rimbo dilancungkan dengan maka seperti babi, biawak, tenuk, dan ular sawa; keno kutuk ayak pertuanan, keno sumpah seluruh Jambi ....”. Artinya dari sumpah ini ialah bahwa orang Rimbo itu adalah orang yang tidak mau nurut saudara tua (pangkal waris), bila saudara tua menemuinya di hutan disuguhi babi, benuk, biawak, dan ular (semua binatang ini, orang terang dilarang memakannya); bakal dimarahi seluruh orang Jambi.

Sumpah Bujang Dewo ditujukan kepada Bujang Malapangi yang sudah menjadi orang Terang:
”Di air ditangkap buaya, di darat ditangkap harimau kumbang, d-itimpo kayu punggur, ke atas dikutuk pisau kawi, ke bawah keno masrum kalimah Allah, di arak kabangiyang, ditimpo langit berbelang, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, .... dan orang yang berkampung itu adalah: “berpadang pinang, berpadang kelapo, dislamkan, rapat dilur rencong di dalam, bersuruk budi bertanam akal, berdaging dua, bergantang dua, bercupak dua”. Arti dari sumpah itu ialah bahwa orang yang berkampung itu adalah orang yang celaka ibarat orang yang kemanapun celaka, ke air dimakan buaya, ke darat dimakan harimau, ditimpa kayu punggur, dikutuk oleh senjata keramat, terkena laknat kalimah Allah, selalu diikuti setan, tertimpa langit di sore hari, tidak punya atasan dan tidak punya bawahan; adapun tandanya adalah: menanam pinang, kelapa, dislamkan; baik di luar busuk di dalam, tidak berbudi dan mengakali orang, berpedoman dua/tidak punya pendirian.

Walaupun demikian, ada semacam kesepakatan bahwa Bujang Malapangi dan keturunannya tetap dianggap pangkal waris dan berkedudukan di desa, sedangkan yang tetap tinggal di hutan dapat terus mempertahankan adat nenek moyang (Bujang Perantau dengan Putri Buah Gelumpang).

Versi keempat menceriterakan bahwa, konon pada masa lalu pantai Pulau Sumatera sering didatangi para bajak laut. Mereka biasanya datang bersama isteri dan anaknya. Suatu saat seorang anak lelakinya diketahui berhubungan intim dengan adik perempuannya. Padahal, hubungan seperti itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh mereka. Oleh karena itu, kedua insan yang berbeda jenis kelaminnya itu dikenakan sanksi berupa pengucilan, yaitu ditinggalkan atau dibiarkan hidup berdua di hutan. Bahkan, bukan hanya itu; mereka tidak diperbolehkan untuk memper-lihatkan diri kepada orang lain. Di sanalah mereka akhirnya beranak-pinak kemudian mendirikan suatu perkampungan di daerah Ulu Kepayang, dekat Dusun Penamping yang terletak di pinggir sungai Lalan (sekarang termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Konon, inilah perkampungan pertama mereka.

Tampaknya perlu diketahui juga bahwa orang Kubu banyak yang berpindah ke Tanjung Semiring; tepatnya di tepi sungai Lalan, di hilir Dusun Karang Agung. Di daerah tersebut ada seorang yang bernama Temenggung. Orang itu kemudian diangkat sebagai kepala suku. Oleh karena itu, kepala Orang Kubu disebut sebagai temenggung. Mereka yang berada di daerah ini disebut dengan nama lebar Telapak, karena ciri fisik mereka yaitu dengan bentuk kaki yang lebar terutama kaum laki-lakinya. Dari Tumenggung yang berasal dari Blidah, Dusun Cambai dengan istrinya yang bernama Polot dari marga betung di daerah Banyuasin, Dusun Gemuruh, mereka memperoleh 6 (enam) orang anak laki-laki yang setiap orangnya mempunyai sifat dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat Kubu, yakni: 1) sejaring pandai dalam hal menangkap ikan atau menjala ikan, 2) semincan atau semancam adalah sifat pengancam atau sifat pemberani, 3) semobah atau perobah adalah sifat yang senang berpindah-pindah/pemindah, 4) sebauk adalah ciri orang yang dihormati biasanya orang yang berjanggut atau berdagu ganda, 5) senanding adalah sifat pedagang, 6) semubung adalah sifat pendukung atau bekerjasama atau perantara. Nama-nama tersebut di atas juga dikenakan oleh Temenggung sendiri, dengan harapan seorang Tumenggung akan memiliki atau mempunyai keenak sifat dan keahlian tadi. Sifat yang paling menonjol bagi seorang Temengung adalah senang mengem-bara, berpindah-pindah tempat bersama istri dan anak-anaknya. Seperti halnya perpindahan mereka ke teluk Sendawar di tepi sungai Lalan, antara daerah Bayung Lincir dan Muara Bahar. Di tempat ini pun mereka tidak bertahan lama, mereka berpindah lagi ke daerah Rambahan di tepi sungai ke arah hulu Muara Bahar. Di daerah ini mereka menetap agal lama, sampai mereka beranak-pinak. Setelah itu Temenggung beserta istrinya scara tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali lagi, menurut kepercayaan masyarakat suku Anak Dalam temenggung dan istrinya tidak meninggal dunia. Setelah ditinggal pergi Temenggung dan istrinya, seluruh keturunan mereka mengadakan pertemuan atau mu-syawarah di Muara Bahar. Mereka berkeinginan untuk memisahkan diri, masing-masing ingin mencari tempat tinggal sendiri-sendiri, oleh karena itulah nama Muara Bahar juga dikenal dengan nama Muara Lebaran yakni tempat dimana mereka mulai berpencar, berpisah. Tetapi ada juga masyarakat Kubu yang tetap tinggal di ulu Kepayang, tidak ikut dalam perpindahan tetapi menetap di sekitar dusun penamping (daerah sekitar Muara Bahar).

Mereka sangat jarang menceritakan asal usul, keturunan atau atau silsilah mereka, karena mereka tahu dan merasa bahwa mereka merupakan keturunan dari hasil perbuatan sumbang (incest). Disamping dianggap kurang sopan juga merupakan aib atau noda bagi diri mereka sendiri. Untuk menyebutkan nama orang tuanya pun mereka merasa cemas, karena mereka takut akan mendapatkan malapetaka, mendatangkan pengaruh jahat. Apalagi menyebutkan cikal bakal mereka yang melakukan zinah. Oleh sebab itu mereka lebih senang mengatakan bahwa cikal bakal mereka berasal dari Temenggung dan Polot. Dari keturunan Temenggung dari sebagian pergi ke Nyarang yakni sebuah sungai kecil di sebelah hilir dusun bakung. Sebagian lagi pergi ke arah hulu sungai Bahar, sebagian lain menetap di sepanjang sungai Bayat dan mendirikan perkampungan Kelapa Sebatang. Dinamakan kampung Kelapa Sebatang karena orang kubu disitu telah menanam sebatang pohon kelapa sebagai hiasan. Namun, buah kelapa yang telah dihasilkan dari pohon tersebut, tidak ada yang berani mengambil dan memakannya, karena menurut anggapan mereka sesuatu yang ditanam atau dipelihara apabila dimakan akan membuat mereka jatuh sakit. Suatu ketika ada orang luar yang datang ke perkampungan mereka dan bertanya mengapa buah kelapa tersebut tidak dimanfaatkan atau dimakan, orang Kubu menjawab bahwa buah kelapa bisa membuat orang mabuk dan tidak baik. Oleh orang luar tadi diberitahukan bahwa air kelapa manis rasanya dan dagingnya enak, orang tersebut mengambil sebutir kelapa dan mengupasnya serta meminum air serta memakan daging-nya. Setelah melihat bahwa memang tidak berakibat apa-apa, maka orang-orang Kubu pun baru percaya bahwa air kelapa dan daing kelapa ternyata bermanfaat bagi manusia. Setelah kedatngan orang luar tadi, mereka berpindah tempat lagi dan mendirikan perkampungan baru yang terletak di antara daerah Lubuk Malang dan Laman Petai, mereka menamakan kampung tersebut dengan nama Kelapa Banyak, karena mereka mulai menanami daerah tersebut dengan pohon-pohon kelapa. Demikianlah sampai akhirnya perpindahan masyarakat Kubu sampai ke daerah Jambi sekarang ini.

Versi kelima mengatakan bahwa masyarakat Suku Anak Dalam atau Kubu adalah orang-orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat Sriwijaya mengalami keruntuhan karena serangan kerajaan Cola (India), orang-orang Sriwijaya yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan asing tadi melarikan diri ke hutan, sehingga mereka akhirnya dikenal sebagai orang Kubu seperti saat sekarang ini.

Berdasarkan Literatur
Ras Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu yang paling banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt digolongan atau dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan Deustero Melayu. Salah satu unsur dari sisa ras tersebut yang dapat dijumpai di Indonesia adalah yang disebut dengan nama Weddid atau Weddoid. Nama tersebut berasal dari nama bangsa Wedda yang hidup di Sri langka, dengan ciri-ciri fisik antara lain rambut berombak tegang atau kaku, dan lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia tipe itu terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala, Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu, semua itu masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik antara lain badan agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama, ramping, bundar wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut kejur hitam, dan wajah mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi menonjol dan mata sipit. Golongan pertama dianggap yang mula-mula datang ke nusantara, kemudian didesak atau terdesak oleh golongan yang kedua ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai pengaruh atau campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang Kubu termasuk dalam Paleo-Mongoloid. (ali gufron)

Foto: http://www.bbc.co.uk
Sumber:
Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)

Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Share By : Albi

Asal-usul Raja Negeri Jambi

Asal-usul Raja Negeri Jambi

Jambi adalah salah satu nama provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Sumatera. Konon jauh sebelum adanya wilayah kesultanan ini, di Negeri Jambi telah berdiri lima buah desa, namun belum memiliki seorang pemimpin atau raja. Untuk itu, para sesepuh dari kelima desa tersebut bersepakat mencari seorang raja yang dapat memimpin dan mempersatukan kelima desa tersebut. Setelah bermusyawarah, mereka bersepakat bahwa siapa pun dapat menjadi pemimpin, tapi dengan syarat harus lulus ujian sehingga merekapun bisa membangun Negeri Jambi.
Nah, Adik-adik, simak yuk cerita tentang asal-usul Negeri Jambi ini. Pada zaman dahulu, wilayah Negeri Jambi terdiri atas lima buah dan belum memiliki seorang raja. Desa tersebut adalah Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, dan Batin Duo Belas. Dari kelima desa tersebut, Desa Batin Duo Belas-lah yang paling berpengaruh. Semakin hari penduduk kelima desa tersebut semakin ramai dan kebutuhan hidup mereka pun semakin berkembang. Melihat perkembangan itu, muncullah keinginan adanya orang yang memimpin sebagai seorang raja yang mampu memimpin dan mempersatukan mereka. Untuk itu, para sesepuh dari setiap desa berkumpul di Desa Batin Duo Belas yang terletak di kaki Bukit Siguntang (sekarang Dusun Mukomuko) untuk bermusyawarah. Mereka pun berembuk untuk menentukan calon kriteria raja. ” Menurut kalian, apa kriteria raja yang baik itu?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas membuka pembicaraan dalam pertemuan tersebut. ”Menurut saya, seorang raja harus memiliki kelebihan di antara kita,” jawab sesepuh dari Desa Tujuh Koto. ”Ya, Benar! Seorang raja harus lebih kuat, baik lahir maupun batin,” tambah sesepuh dari Desa Petajin. ”Saya sepakat dengan pendapat itu. Kita harus memilih raja yang disegani dan dihormati,” sahut sesepuh dari Desa Muaro Sebo. Akhirnya semua setuju dengan kriteria tersebut.
Mereka pun menetapkan beberapa untuk menguji kemampuan sang calon raja. ”Bagaimana caranya?” tanya sesepuh Desa Petajin penasaran. ”Setiap calon harus melalui empat ujian, yaitu dibakar, direndam di dalam air mendidih selama tujuh jam, dijadikan peluru meriam dan ditembakkan, dan digiling dengan kilang besi. Siapa pun yang berhasil melalui ujian tersebut, dialah yang berhak menjadi raja. Semua peserta rapat setuju dan siap untuk mencari seorang calon raja.
Para sesepu masing-masing desa pun mengumpulkan warga dan memilih satu orang untuk dijadikan calon raja. Pada hari yang ditentukan, undian pertama jatuh kepada utusan dari Desa Sembilan Koto. Wakil desa itu pun masuk ke tengah gelanggang untuk diuji. Ia pun dibakar dengan api yang menyala-nyala, tapi tubuhnya tidak hangus dan tidak kepanasan. Ujian kedua, ia direndam di dalam air mendidih, namun tubuhnya tidak melepuh sedikit pun. Ujian ketiga, ia dimasukkan ke dalam mulut meriam lalu disulut dengan api dan ditembakkan. Ia pun terpental dan jatuh beberapa depa. Ia segera bangun dan langsung berdiri tegak seperti tidak terjadi apa-apa. Seluruh penonton kagum menyaksikan kehebatan wakil dari Desa Sembilan Koto itu.
Ketika memasuki ujian terakhir, tiba-tiba suasana menjadi hening. Seluruh penonton menjadi tegang, karena ujian yang terakhir ini adalah ujian yang paling berat. Jika kesaktian wakil dari Desa Sembilan Koto itu kurang ampuh, seluruh tulangnya akan hancur dan remuk. Ternyata benar, belum sempat penggilingan itu menggiling seluruh tubuhnya, orang itu sudah meraung kesakitan, karena tulang-tulangnya hancur dan remuk. Penggilingan pun segera dihentikan. Wakil dari Desa Sembilan Koto itu dinyatakan tidak lulus ujian dan gagal menjadi raja Jambi. Hal yang sama terjadi dengan para kandidat raja lainnya. Mereka pun kemudian berembuk dan ingin mencari calon raja dari negeri lain. Mereka mencari ke daerah lain. Tapi tidak bertemu juga. Akhirnya mereka menyeberang ke luar Pulau Sumatera dan mendengar bahwa di sebuah kampung ada orang terkenal yang memiliki kesaktian tinggi. Mereka menemuinya. Setelah utusan dari Negeri Jambi menyatakan maksud mereka, orang keling tersebut menyetujui ikut dalam ujian tersebut. Dia dan rombongan pun diterima oleh penduduk Jambi.
Keesokan harinya, orang sakti itu pun diuji. Seperti halnya calon-calon raja sebelumnya, orang sakti itu pertama-tama dibakar dengan api yang menyala-nyala. Orang keling itu benar-benar sakti, tubuhnya tidak hangus, bahkan tidak satu pun bulu romanya yang terbakar. Setelah diuji dengan ujian kedua dan ketiga, orang itu tetap tidak apa-apa. Terakhir, orang itu akan menghadapi ujian yang paling berat, yang tidak sanggup dilalui oleh calon-calon raja sebelumnya, yaitu digiling dengan kilang besi yang besar. Pada saat ujian terakhir itu akan dimulai, suasana menjadi hening. Penduduk yang menyaksikan menahan napas. Dalam hati mereka ada yang menduga bahwa seluruh tubuh orang itu akan hancur dan remuk.
Ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Ujian terakhir itu pun dimulai. Pertama-tama, kedua ujung jari-jari kaki orang Keling itu dimasukkan ke dalam kilang besi. Kilang mulai diputar dan sedikit demi sedikit tubuh orang keling itu bergerak maju tertarik kilang besi yang berputar. Semua penduduk yang menyaksikannya menutup mata. Mereka tidak sanggup melihat tubuh orang keling itu remuk. Namun apa yang terjadi? Mereka yang sedang menutup mata tidak mendengarkan suara jeritan sedikit pun. Tetapi justru suara ledakan dahsyatlah yang mereka dengarkan. Mereka sangat terkejut saat membuka mata, kilang besi yang besar itu hancur berkeping-keping, sedangkan orang keling itu tetap tidak apa-apa, bahkan ia tersenyum sambil bertepuk tangan. Penduduk yang semula tegang ikut bergembira, karena berhasil menemukan raja yang akan memimpin mereka.
Seluruh penduduk dari Desa Tujuh Koto, Sembilan Koto, Muaro Sebo, Petajin, dan Batin Duo Belas segera mempersiapkan segala keperluan untuk membangun sebuah istana yang bagus. Selain itu, mereka juga mempersiapkan bahan makanan untuk mengadakan pesta besar-besaran untuk meresmikan penobatan raja Negeri Jambi. Beberapa bulan kemudian, berkat kerja keras seluruh warga, berdirilah sebuah istana yang indah dan orang keling itu pun dinobatkan menjadi raja Jambi.
Demikian cerita asal-usul raja Negeri Jambi dari daerah Jambi, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat diambil, yaitu sifat suka bermusyawarah dan pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan masyarakat.(*)
Sumber : Jambi Independen
Share By : Albi

Alhamdulillah... Pelajar AS Belajar Mengenakan Jilbab

REPUBLIKA.CO.ID, MICHIGAN - Semenjak pekan lalu, Charly Loper menjadi pusat perhatian di lingkungan dan sahabat-sahabatnya. Namun, Loper begitu menikmati situasi itu. "Sekarang saya merasa selalu diawasi," paparnya seperti dikutip dari cm-life.com, Kamis (29/9).

Situasi itu berawal saat Loper memutuskan untuk berpartisipasi dalam program mengenakan hijab yang diselenggarakan sekolahnya. Program itu dipimpin oleh Amanda Jaczkowski, rekan Loper di SMP Clinton Township, Michigan.

"Hijab adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat disalahpahami. Saya ingin membantu anak-anak untuk lebih memahami apa artinya," kata Jaczkowski yang juga menyebut sekitar 25 perempuan telah berpartisipasi.

Siswa SMP Clarkson, Hannah Grimaldi mengatakan ia telah mengalami diskriminasi sejak mengenakan jilbab. "Saya mulai mengenakan jilbab, Jum'at lalu. Orang-orang seolah menatap saya dengan heran," kata Grimaldi.

Grimaldi mengatakan dia berasal dari daerah yang didominasi putih dan jarang bersinggungan dengan budaya lain. "Anda mendapatkan kesempatan untuk berada dalam budaya orang lain," katanya.

Bagi setiap peserta, ada tiga tingkatan berbeda yang dapat dipilih. Tingkat pertama mengharuskan mereka untuk mengubah penampilan fisik mereka dengan menutup kulit dan rambut.

Mereka juga tidak diperkenankan untuk menunjukkan kemesraan di depan umum atau mengkonsumsi alkohol. Tingkat kedua meliputi yang pertama, namun ditambah syarat untuk tidak mengonsumsi daging babi.

Tingkat ketiga meliputi tingkat pertama dan kedua, dengan menambahkan syarat melarang hubungan suami istri bagi mereka yang belum menikah dan menghindari suasana yang memungkinkan terjadinya hubungan suami istri.

"Saya pikir itu akan menarik untuk hidup dengan jilbab dan melihat bagaimana orang-orang akan memperlakukan Anda," kata Loper.

Menurutnya, sebagian besar orang di sekitarnya tidak tahu bagaimana memperlakukan dirinya. "Aku tahu mereka tidak nyaman," tuturnya.

Sebelum acara tersebut, Loper mengatakan, ia melihat mengenakan jilbab sesuatu yang tidak benar. "Saya selalu pikir itu merendahkan bagi wanita. Tapi nyatanya, tidak juga," pungkasnya.
Sumber : Republika
By : Albi

Inilah Kucing Berwajah Dua Tertua di Dunia

REPUBLIKA.CO.ID, MASSACHUSETTS - Dua belas tahun sudah, Frank dan Louie, berbagi hidup di tubuh yang sama. Keduanya terlahir siam, menempel dalam satu tubuh dengan dua mulut, dua hidung, tiga mata, dan dua telinga. Hingga hari ini, tak ada gangguan kesehatan yang berarti pada keduanya.

Sara Wilcox, juru bicara Guinness World Records, menyatakan mereka adalah kucing jenis Janus tertua di dunia. Disebut 'Janus' berdasar klasifikasi zoologis Inggris, Dr Karl Shuker, yang menamakannya sesuai nama Dewa Romawi yang bermuka dua.

Frank dan Louie mengalami duplikasi craniofacial, sebuah kondisi kongenital yang sangat jarang. Dikenal juga sebagai diprosopia, individu yang bersangkutan akan memiliki dua wajah yang mirip dalam satu kepala.

Di dunia kucing, kata Wilcox, hal ini sangat jarang terjadi. kalaupun terjadi, biasanya individu yang bersangkutan tak akan hidup lama.

Frank dan Louie lahir pada 8 September  1999. Merayakan ulang tahunnya, nama keduanya dicatat dalam edisi terbaru Guinness World Records yang akan diterbitkan tahun 2012.

Marty, seorang dokter hewan yang juga pemilik kucing itu, menemukannya secara tak sengaja. Tahun 1999, ia kedatangan pengunjung membawa anak kucing seukuran telapak tangannya, memintanya untuk melakukan suntik mati atau eutanasia. Marty menolak. Wanita asal Massacusetts ini menawarkan ganti: sanggup memelihara keduanya.

"Membesarkan kedua, tiap hari bagai sebuah keajaaiban bagi saya," kata Marty.
Sumber : Republika
By : Albi

Selasa, 27 September 2011

Menambah Jam Mengajar Bagi Guru, Efektifkah?

. Kamis, 08 September 2011

Menambah Jam Mengajar Guru, Efektifkah?

Beban Mengajar Guru

Bidang pendidikan kembali mendapat sorotan baik dari pemerintah maupun masyarakat luas. Kali ini, penambahan jam mengajar guru. Dari 24 jam seminggu dengan satu jam mengajar 45 menit, menjadi 27,5 jam.

Tanpa memenuhi jumlah jam mengajar, guru tidak dapat mengikuti sertifikasi guru. Penambahan jam mengajar juga dijadikan variabel untuk melihat peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Jika dirunut asal penambahan jam mengajar ini, ternyata muncul dari Pejabat Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN dan RB). Konon mereka ‘kegerahan’ setiap mendengar laporan ada oknum PNS yang keluyuran saat jam kerja. Tidak terkecuali para guru yang masih mengenakan seragam kerja.

Untuk mengatasi hal tersebut, kini ada penambahan jam mengajar bagi para guru dalam hitungan pekan. Opsi penambahan beban mengajar guru ini, sudah disetujui Kementerian Pendidikan Nasional. Selain untuk mendongkrak kinerja aparatur, karena tidak ada guru yang ‘keluyuran’ atau menganggur — diyakini otomatis meningkatkan kualitas pendidikan karena frekuensi tatap muka bertambah.

Penambahan jam mengajar guru, dinyatakan relevan dengan semangat reformasi birokrasi. Termasuk poin proses efisiensi dan efektivitas kinerja. Dipahami, ‘ujung’ dari efisiensi ini adalah tunjangan kinerja atau remunerasi.

Sulit mendapatkan kesepahaman bahwa dengan meningkatkan jam mengajar, guru akan otomatis menjadi pendidik yang baik. Atau, dengan jam mengajar yang bertambah, kualitas pendidikan di Indonesia akan bertambah.

Ada perbedaan prinsipil, yakni tinjauan yang terlalu kuantitatif untuk menilai kualitas pendidikan dan hasil pendidikan yang lebih bersifat kualitatif. Proses pendidikan, bukanlah seperti proses industri benda yang dapat dikalkulasi secara kuantitatif.

Jika dilihat dari tinjauan kualitas pendidikan, penambahan jam kerja guru yang disetujui oleh Kementerian Pendidikan Nasional bukanlah suatu solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Profesi guru, memang berbeda dengan jam kantor lainnya.

Apalagi jam kerja para buruh pabrik. Yang perlu ditingkatkan adalah kualitas para guru tersebut. Misal, dengan terus menerus dan tersistem meng-up grade pengetahuan. Baik melalui sekolah formal, pendidikan dan latihan (diklat), studi banding yang implementatif untuk mengajar.

Alasan pemerintah meningkatkan jumlah jam mengajar guru, juga kurang etis. Misal, alasan agar guru tidak ‘keluyuran’. Guru sebagai pendidik, justru harus banyak tahu dan melihat semua kejadian di luar sekolah.

Guru yang mengenakan seragam, kemudian berada di area publik, pasti memiliki suatu tujuan. Seragam yang dikenakan, sudah memagari sikap dan perbuatannya. Sehingga secara moral, guru itu tetap guru dan pendidik, sekalipun sedang berada di luar area sekolahan.

Terhadap kebijakan ini, memang banyak yang pro-kontra. Pemerintah perlu mengadakan pengawasan terhadap kebijakan tersebut melalui sistem yang baik. Artinya, sistem itu tidak menghilangkan hakikat guru sebagai pendidik yang lebih bernilai kualitatif daripada kuantitatif.

Sistem pengawasan juga harus mampu membuktikan sinkroninasi antara kebijakan dan kejujuran. Tidak sebatas retorika dan uang tunjangan saja.[muhamadalisaifudin]
Sumber: [kr.co.id]
Gambar: [jatmiko.smkn1kediri]